Raja Wajo Pertama

Blok barat dan blok timur

Semifinal Euro 1960 digelar di Prancis dan diikuti Uni Soviet, Cekoslowakia, Yugoslavia, serta tuan rumah Prancis. Soviet, Ceko, dan Yugoslavia adalah negara Blok Timur lalu Prancis dari Blok Barat.

Soviet bertemu Ceko di Marseille dan tim Merah-Kuning itu berhasil menang 3-0 melalui dwigol Valentin Ivanov dan sebiji gol dari Viktor Ponedelnik.

Sementara di Paris, Yugoslavia berhasil menang atas tuan rumah Prancis dengan skor 5-4 melalui pertandingan sengit karena saling mengejar skor. Prancis kalah tanpa dua pemain andalannya, Just Fontaine dan Raymond Kopa.

Yugoslavia, yang dibela Dragoslav Sekularac dan Bora Kostic, menunjukkan dominasi pada menit-menit awal pertandingan. Namun, gol baru tercipta pada menit ke-53 setelah umpan silang Drazen Jerkovic berbelok karena mengenai kaki Milan Galic, membuka keunggulan bagi Yugoslavia.

Kiper legendaris Lev Yashin berkali-kali berhasil menahan gempuran Yugoslavia. Saat Soviet balik menyerang, tendangan jarak jauh Valentin Bubukin tidak mampu diantisipasi sempurna oleh Blagoje Vidinic.

Bola muntah kemudian disambar oleh Slava Kalistratovich Metreveli, menyamakan kedudukan empat menit setelah babak kedua dimulai.

Kedua tim memiliki peluang untuk mencetak gol kemenangan, namun Ivanov dari Soviet dan Jerkovic dari Yugoslavia gagal memanfaatkan peluang yang mereka dapat.

Akhirnya, pertandingan ditentukan oleh sundulan Viktor Ponedelnik tujuh menit sebelum babak perpanjangan waktu selesai. Uni Soviet pun merengkuh gelar juara. Soviet sukses menjadi Raja Eropa pertama kali.

Sementara itu, pemain Yugoslavia, Milan Galic mencatatkan rekor dunia dengan mencetak gol dalam 10 pertandingan internasional berturut-turut. Tiga bulan kemudian, bersama rekan-rekannya, Galic memenangkan medali emas di Olimpiade Roma, sekaligus menambah prestasi gemilangnya.

Sejarah pemakaian gelar sultan di Indonesia

Pada asalnya, sultan diartikan sebagai kekuasaan. Namun, pada masa Dinasti Seljuk mengungguli Kekhalifahan Abbasiyah, gelar sultan berubah makna menjadi penguasa.

Gelar sultan semakin populer digunakan oleh para penguasa kesultanan pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir (1250-1517) dan mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Turki Ottoman.

Di antara para penguasa Turki Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah, Bayazid I (1389-1402) yang kali pertama memakai gelar sultan.

Di Indonesia, raja Islam yang pertama kali memakai gelar sultan adalah Meurah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, seperti tertera pada nisan kuburnya.

Sultan Malik as-Saleh adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Samudera Pasai yang berkuasa antara tahun 1267 hingga 1297.

Baca juga: Hikayat Raja-raja Pasai: Isi dan Ringkasan Ceritanya

Dari Hikayat Raja-Raja Pasai diketahui bahwa Meurah Silu masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah.

Meurah Silu kemudian diberi gelar Sultan Malik as-Saleh dan gelar itu tercantum dalam nisannya yang terdapat di kampung Samudra, Lhokseumawe, Provinsi Aceh.

Setelah itu, raja-raja Muslim di Nusantara umumnya juga menggunakan gelar sultan.

Penulis dan bendahara Portugis, Tome Pires, dalam catatannya menyebut bahwa pada abad ke-16, para penguasa Muslim yang utama di Nusantara semuanya memakai gelar sultan, sedangkan raja-raja kecil cukup puas dengan gelar raja.

Kerajaan Samudra Pasai, ditinjau dari segi geografi dan sosial-ekonomi, merupakan daerah penting yang menghubungkan Nusantara dengan India dan Arab, sehingga lebih dulu tersentuh pengaruh Islam.

Di Jawa dan Sulawesi, gelar sultan baru dipakai pada sekitar permulaan abad ke-17.

Berdasarkan himpunan hukum adat Aceh yang tercantum dalam Adat Makuta Alam yang tersusun lengkap pada masa Sultan Iskandar Muda, pengangkatan sultan melalui serangkaian prosesi.

Baca juga: Sultan Mahmud Malik Az Zahir, Pembawa Kejayaan Samudera Pasai

Menurut lembaran sejarah adat yang berdasarkan hukum (Syara'), dalam pengangkatan sultan harus semufakat hukum dengan adat.

Oleh karena itu, ketika dinobatkan, sultan berdiri di atas tabal, ulama memegang Al Quran berdiri di kanan, perdana menteri yang memegang pedang berdiri di kiri.

Pada umumnya, di tanah Aceh, pangkat sultan turun kepada anak.

Sultan diangkat oleh rakyat atas mufakat dan persetujuan ulama dan orang-orang besar cerdik pandai.

Adapun orang-orang yang diangkat menjadi sultan dalam hukum agama harus memiliki syarat-syarat bahwa ia mempunyai kecakapan untuk menjadi kepala negara, cakap mengurus negeri, hukum dan perang, sera mempunyai kebijaksanaan dalam hal mempertimbangkan dan menjalankan hukum adat.

Euro 1960 menjadi pembuka gelaran sepak bola bergengsi di belahan benua Eropa. Euro pertama, berawal dari buah perjuangan Henri Delaunay dan diakhiri dengan kemenangan Uni Soviet.

Delaunay merupakan pencetus kejuaraan Piala Eropa yang kemudian disebut Euro. Ia merupakan tokoh sepak bola Prancis yang berpengaruh di Eropa dan Dunia.

Bersama Jules Rimet, Delaunay membidani kelahiran FIFA dan Piala Dunia. Setelah itu, Delaunay bermimpi menyatukan banyaknya kejuaraan di Eropa menjadi satu nama, Euro.

Delaunay berjuang dengan melakukan lobi-lobi ke negara Eropa Barat dan Eropa Timur. Sayang, belum sempat menyaksikan kelahira Euro, Delaunay wafat pada 1955 dan perjuangannya diteruskan oleh putranya, Pierre Delaunay.

Pierre meneruskan cita-cita ayahnya. Proposal kejuaraan antarnegara Eropa itu diterima dan lahirlah European Nations Cup alias Euro 1960. Trofi juara dinamakan trofi Henri Delaunay sebagai penghormatan kepada sang pencetus kejuaraan.

Euro 1960 merupakan kejuaraan sepak bola yang cukup Panjang. Euro pertama digelar selama 22 bulan antara 1958 hingga 1960 yang dimulai dengan pertandingan kualifikasi dan diikuti 17 negara.

Negara-negara dengan akar sepak bola yang kuay seperti Italia, Inggris, dan Jerman Barat tidak turut serta. Padalah, UEFA sudah mengundang 33 negara dan hanya 17 yang siap bertanding.

Kualifikasi pada gelaran pertama ini digelar dengan format kandang-tandang hingga babak perempat final. Baru ketika masuk semifinal berformat knock-out di satu tempat saja, yang diadakan di Prancis.

Dengan 17 partisipan, harus ada peserta yang tersisih agar bisa memulai babak 16 besar sebagai babak kualifikasi. Terjadilah pra-kualifikasi yang ditentukan melalui undian yang mana Cekoslowakia menang atas Republik Irlandia 4-2.

Antusiasme orang-orang Eropa menyaksikan Euro juga cukup ‘wah’. Setidaknya pertandingan pertama di Kualifikasi Euro 1960 antara Uni Soviet kontra Hungaria disaksikan 100 ribu pasang mata. Laga tersebut dimenangkan Soviet dengan skor 3-1.

Namanya turnamen pertama, skor-skor besar pun terjadi di beberapa laga. Ambil contoh, Prancis menang 8-2 atas Yunani. Lalu Spanyol yang menyingkirkan Poalndia 7-2 dan Ceko menang 7-3 atas Denmark.

Bermain di era politik Eropa yang panas membuat laga Spanyol dan Soviet tercoreng dengan kebijakan politik. Spanyol yang diperintah Jenderal Franco yang fasis enggan berhadapan dengan Soviet pimpinan Nikita Kruschev yang komunis.

Spanyol ‘malas’ bertandang ke Soviet dan Franco tak mau memberikan visa masuk ke Spanyol kepada para pemain Soviet. Alhasil, Spanyol mundur dan Soviet pun melaju ke semifinal.

Merencanakan Serangan Balasan

Perang Salib tak lepas dari kisah tentang dua tokoh sejarah besar yang telah mendominasi jalannya Perang Salib III, yakni Saladin dan Richard I The Lionheart. Sejak akhir abad ke-12, Perang Salib lebih sering digambarkan sebagai duel pribadi antara dua sosok pemimpin militer beda kubu tersebut.

Bahkan, banyak sekali karya-karya lukisan pada abad pertengahan yang menunjukkan Richard I The Lionheart dan Saladin terkunci dalam pertempuran tunggal satu lawan satu. Adegan ini sebenarnya adalah fiksi. Richard dan Saladin tidak pernah benar-benar bertemu secara langsung satu sama lain. Meski demikian, pasukan mereka terlibat dalam beberapa pertempuran selama Perang Salib III berlangsung, tulis Nicholson Helen dan David Nicole dalam God’s Warriors: Crusaders, Saracens and The Battle For Jerusalem (2005).

Perang Salib III mulanya akan dipimpin oleh Frederick I Barbarossa dari Jerman, Philip II Augustus dari Prancis, dan Richard I The Lionheart dari Inggris yang akan melawan Salahhudin Al-ayubi di pihak lawan. Akan tetapi, hanya Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart yang benar-benar sampai ke Yerusalem karena nasib nahas menimpa Raja Frederick I. Dia tewas tenggelam dalam balutan baju zirahnya di sungai Goksu dekat Kastil Silifke di wilayah Selatan Turki.

Selain motif agama, Paus Gregorios VIII juga memiliki motif politik yang kuat di balik seruan Bull Audita Tremendi yang melatarbelakangi ekspedisi Perang Salib III. Motif tersebut menurut Carole Hillenbrand dalam Perang Salib Sudut Pandang Islam, hlm. 32-34 (2005) adalah agar pertengkaran menahun antara Kerajaan Prancis dan Inggris yang melemahkan kekuatan kerajaan Kristen Eropa, bisa segera mereda jika mereka bersatu dalam satu tujuan bersama.

Hal tersebut dalam pandangan Paus Gregorius VIII akan mengalihkan energi perangdua kerajaan yang berselisih itu, sekaligus dapat mengurangi ancaman langsung bagi masyarakat Eropa akibat perang berkepanjangan yang mereka lakukan. Ide Paus ini hanya berhasil dalam waktu singkat. Kedua raja, yakni Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart pada kenyataannya hanya mampu menyisihkan perbedaan pendapat dalam rentang waktu beberapa bulan selama berlangsungnya ekspedisi tersebut.

Pada tahun-tahun setelah kemenangan besarnya di Hattin dan Yerusalem pada 1187, kekuatan politik dan militer Saladin mulai menurun. Perpecahan dalam dunia Islam mulai muncul kembali, dan upaya Saladin menaklukkan benteng tentara salib yang tersisa masih menuai kegagalan.

Pada musim dingin 1187–1188, Saladin menyerang pelabuhan tentara salib terakhir di Titus, tetapi kota itu berhasil dipertahankan oleh Conrad dari Montferrat, bangsawan Italia yang baru tiba di Yerusalem.

Tak lama kemudian, Saladin membebaskan Raja Guy de Lusignan yang sebelumnya telah mengambil sumpah darinya untuk tidak kembali memeranginya. Hal ini kelak akan menjadi salah satu keputusan paling mahal yang pernah diambil Saladin. Tak lama setelah dibebaskan, Raja Guy de Lusignan bertemu uskup yang mengataan padanya bahwa sumpah yang diambil kepada orang kafir (baca: Muslim) tidak mengikat bagi orang Kristen.

Pada Agustus 1189 Raja Guy berhasil mengumpulkan beberapa ribu pengikutnya yang masih setia untuk melakukan pengepungan terhadap Kota Acre--salah satu pelabuhan terpenting di pantai Mediterania. Raja Guy menempatkan pasukannya di sebuah bukit rendah yang disebut Gunung Toron, hampir satu mil di sebelah timur Acre (The Third Crusade, hlm. 110).

Infografik Mozaik Kekalahan Saladin di Perang Salib III. tirto.id/Lugas

Serangan cepat dari pasukan Saladin yang jumlahnya lebih banyak bisa saja menghabisi kaum Frank, tapi dia terlalu hati-hati dan mengatur posisi bertahan sekitar enam mil jauhnya ke tenggara Acre. Selama satu setengah tahun berikutnya, pengepungan Acre masih menemui jalan buntu. Kaum Frank berkemah di parit antara tentara Saladin dan garnisun Muslimnya di dalam kota.

Pasukan Salib kemudian terus membanjiri Acre, salah satunya pasukan Conrad de Montferrat yang sering disebut sebagai gelombang pertama kedatangan tentara salib dari Eropa pada Perang Salib III. Meski demikian, kaum Frank tidak dapat menghancurkan tembok kuat yang mengelilingi kota tersebut.

Musim dingin tahun 1189 dan 1190 sangat keras, kekuatan kedua belah pihak--Tentara Salib dan pasukan Muslim—dilemahkan oleh penyakit menular dan kekurangan bahan makanan yang semakin terasa. Meski demikian, kota Acre masih berhasil menahan serangan gencar yang dilakukan oleh gabungan tentara Frank milik Guy dan Conrad de Montferrat.

Pada permulaan tahun 1191, Saladin menerima kabar bahwa Raja Inggris dan Prancis beserta pasukannya tengah dalam perjalanan menuju Acre untuk membantu pengepungan. Pasukan Raja Prancis tiba pada 20 April 1191. Raja Philip II Augustus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membangun strategi pengepungan dan melecehkan para prajurit Muslim yang berada di dalam benteng kota.

Dua bulan kemudian, tepatnya pada 8 Juni 1191, Raja Richard The Lionheart dari Inggris juga tiba dengan 25 kapal untuk membantu Tentara Salib dengan melakukan blokade laut.

Keterampilan taktis dan kemampuan militer Richard The Lionheart membuat perbedaan besar bagi jalannya pengepungan. Hal ini memungkinkannya mengambil alih komando Pasukan Salib. Pada 2 Juli 1191, 200 armada besar kapalnya tiba.

Karena kian terdesak dari darat dan laut, pada 11 Juli 1191 Saladin memutuskan untuk melancarkan serangan penghabisan terhadap lebih dari 50.000 Tentara Salib yang mengepung di luar benteng, namun kegagalan. Akhirnya pada 12 Juli 1191, tepat hari ini 830 tahun silam, Acre jatuh ke tangan Raja Richard I The Lionheart dan Philip II Augustus. Ini adalah kekalahan pertama Saladin dalam pertempuran di Yerusalem sejak dia berkuasa pada Oktober 1187.

Nationalgeographic.co.id – Raja Charles III telah resmi dinobatkan menjadi raja Kerajaan Inggris. Dia dinobatkan karena garis keturunan leluhurnya.

Namun, dulu di awal kerajaan berdiri, apa yang membuat seorang bisa menjadi raja? Apakah otoritasnya atas penduduk di suatu wilayah atau kekuasaannya di suatu wilayah? Apakah mungkin karena seseorang mengenakan mahkota sehingga ia diangkat menjadi raja?

Ini adalah pertanyaan kunci untuk menentukan kapan dan mengapa suatu kerajaan berkembang. Contohnya, dalam kasus Kerajaan Inggris, siapa raja pertama di Inggris, sebelum singgasana kerajaan itu kini diduduki oleh Raja Charles?

Sejarah mencatat, Aethelstan dinobatkan sebagai Raja Anglo-Saxon pada tahun 925 dan konsensus ilmiah menempatkannya sebagai raja pertama Inggris. Jawaban ini terkesan singkat, tetapi cerita sejarahnya cukup panjang dan berbelit untuk diuraikan dan disepakati.

Cerita dimulai dengan Angles

“Untuk benar-benar mulai menemukan raja pertama Inggris, seseorang harus mulai dengan Angles,” tulis Melissa Sartore di laman National Geographic.

Nama England atau Inggris berasal dari kata Inggris Kuno Englaland, yang secara harfiah berarti tanah para Angles. Kedatangan suku-suku Jermanik ini ke tempat yang dulunya merupakan provinsi Romawi Britannia itu terjadi pada abad ke-5. Di samping Jute, Saxon, dan Frisia, Angles mendirikan permukiman di tenggara dan timur Inggris selama abad ke-6.

Seiring waktu, bahasa dan budaya Jermanik menyatu dengan praktik dan tradisi Romawi-Inggris yang ada. Pada tahun 600 Masehi, masing-masing kerajaan terbentuk di seluruh Kepulauan Inggris.

Kerajaan Jermanik ini dibentuk sesuai dengan orang-orang yang tinggal di suatu daerah, berlawanan dengan batas atau perbatasan fisik. Belakangan, kerajaan-kerajaan yang lebih kecil bergabung menjadi lebih besar, dan apa yang disebut Heptarkhia muncul.

Heptarkhia adalah penyederhanaan yang sangat besar dari pengaturan sosial, politik, dan agama yang kompleks di Inggris. Heptarkhia dibentuk dari tujuh kerajaan: Wessex, Kent, Sussex, Mercia, East Anglia, Northumbria, dan Essex.

Setiap kerajaan besar mencakup kerajaan kecil dengan pemimpinnya sendiri. “Banyak di antaranya bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dalam lingkup pengaruh yang lebih besar,” tambah Sartore.

Aturan diciptakan dan dipertahankan melalui hubungan timbal balik yang didasarkan pada kesetiaan dan perlindungan. Sistem ekonomi bergantung pada iuran dan layanan yang terkoordinasi.

Peran Mercia dan bretwalda

Kerajaan-kerajaan besar di Inggris saling bersaing untuk menjadi yang teratas. Pada akhirnya menghasilkan perjuangan yang berputar di sekitar Kerajaan Mercia yang mendominasi kerajaan lain selama sebagian besar abad ke-8.

Ini mirip dengan apa yang dijelaskan Bede dalam Ecclesiastical History. Di sana disebutkan ada seorang penguasa yang "berkuasa" atas orang-orang di luar kerajaannya sendiri.

Kronik Anglo-Saxon menggunakan istilah bretwalda untuk mewakili konsep ini. Kronik itu menerapkan istilah tersebut pada raja-raja Anglo-Saxon yang memerintah sejak akhir abad ke-5.

Sejarah mencatat, hegemoni Mercia akhirnya bergeser, terutama pada masa pemerintahan Raja Eghbert dari Wessex (memerintah 802-839 Masehi). Di bawah Raja Eghbert, Wessex mengalahkan bangsa Mercia di pertempuran Ellendon pada tahun 825 Masehi. Setelah itu kerajaan-kerajaan besar mengakui supremasinya.

Kronik Anglo-Saxon mengidentifikasi Raja Eghbert sebagai seorang bretwalda. Identifikasi tersebut berfungsi sebagai inti dari dasar argumentasi sebagian orang bahwa Eghbert adalah raja pertama Inggris.

Apakah Raja Eghbert benar-benar bisa disebut sebagai raja pertama Inggris? Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Wessex di bawah kendali Eghbert memang berhasil melakukan suksesi damai untuk keturunannya. Namun, kekuasaan kerajaannya belum benar-benar luas di Tanah Inggris.

Setelah kematian Eghbert, sang putra Aethelwulf naik takhta. Seorang putra yang naik tahta setelah kematian ayahnya ini menanamkan prinsip suksesi turun-temurun di Wessex.

Setelah kematian Raja Aethelwulf, tiga putranya menjabat sebagai Raja Wessex, yang akhirnya mengarah pada suksesi yang keempat pada tahun 871 Masehi. Ini adalah Alfred, pesaing lain yang juga kerap dianggap sebagai Raja Inggris pertama.

Alfred, penguasa yang tidak terduga

Alfred seharusnya tidak pernah memerintah Wessex. Ketika kakak laki-lakinya Aethelred meninggal saat berkampanye melawan perampok Skandinavia, Alfred menjadi raja.

Sebagai Raja Wessex, Alfred terus mempertahankan kerajaannya dari apa yang disebut Kronik Anglo-Saxon sebagai Great Heathen Army. Terdiri dari orang Denmark, Norwegia, dan Swedia, Great Heathen Army pertama kali tiba di Anglia Timur pada tahun 865 Masehi. Dalam satu dekade, satu-satunya kerajaan yang bertahan adalah Wessex.

Setelah mengalahkan pasukan Skandinavia di Pertempuran Edington pada tahun 878 Masehi, Alfred membuat perjanjian damai dengan pemimpin mereka, Guthrum. Perjanjian itu secara resmi menetapkan batas antara Wessex dan wilayah yang dikuasai Viking.

Namun, kehadiran permanen Skandinavia di utara, serangan Viking yang terus berlanjut, mendorong Alfred untuk mengambil langkah mengamankan kerajaan. Dia mereformasi militer dan mendirikan permukiman pertahanan. Alfred juga mendirikan angkatan laut untuk mempertahankan pantai Wessex dari serangan.

Bersamaan dengan upaya ini, Alfred melakukan aktivitas intelektual yang dianggap membantu menciptakan identitas budaya dan politik Inggris. Semua ini — dan penunjukan Alfred sebagai Raja Anglo-Saxon— menjadi alasan kuat untuk menyebutnya sebagai raja pertama Inggris.

Aethelstan, raja pertama Inggris

Alfred meninggal pada tahun 899 Masehi dan putranya, Edward the Elder, naik takhta. Edward memerintah sampai tahun 924. Setelah kematiannya, putranya Aethelstan dimahkotai sebagai raja pada tahun 925 Masehi.

Sama seperti kakek dan ayahnya, Aethelstan memulai sebagai Raja Anglo-Saxon. Dia berbeda dalam luas wilayah kekuasaannya, terutama setelah Pertempuran Brunaburh pada tahun 937 Masehi.

Pada akhir masa pemerintahan Aethelstan, dia mencapai lebih banyak sentralisasi birokrasi dan administrasi daripada para pendahulunya. Oleh para sejarawan, ia dianggap sebagai raja pertama Kerajaan Inggris.

Otoritas Aethelstan tidak pernah terbantahkan. Menurut Kronik Anglo-Saxon, dia juga menjadi raja yang membawa wilayah York dan Northumbria.

Pada tahun 937, raja-raja Skotlandia, Viking Dublin, dan sebagian Wales bersatu melawan Aethelstan. Mereka bertempur di Brunanburh.

Lokasi pasti Brunanburh masih belum jelas. Namun pertempuran yang terjadi di sana dianggap oleh banyak sarjana sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah Inggris.

Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan Aethelstan di Brunanburh. Hasilnya, kekuasaan Raja Anglo-Saxon semakin meluas hingga ke Skotlandia dan Wales. Itu juga memperkuat kekuasaannya atas seluruh Inggris.

Baca Juga: Kerap Bernasib Buruk, Benarkah Nama Raja Charles Membawa Kutukan?

Baca Juga: Bintang Afrika, Berlian Kontroversial di Tongkat Kerajaan Charles III

Baca Juga: Sejarah Dramatis Mahkota St Edward yang Digunakan Raja Charles III

Aethelstan hanya hidup selama 2 tahun setelah pertarungan tersebut. Namun bagi banyak orang, dia menjadi raja Inggris pertama yang sebenarnya dengan kemenangan itu.

Pada akhir masa pemerintahan Aethelstan, dia mencapai lebih banyak sentralisasi birokrasi dan administrasi daripada para pendahulunya. Maka tidak heran jika sejarawan menganggap ia sebagai raja pertama Kerajaan Inggris.

Kerajaan itu masih bertahan hingga sekarang, dengan Raja Charles yang kini melanjutkan takhta tersebut.

78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

TRIBUNNEWS.COM - Ratu Elizabeth II telah meninggal dunia pada usia 96 tahun, Kamis (8/9/2022) di Kastil Balmoral, Skotlandia.

Elizabeth II merupakan raja terlama di Inggris, yang memerintah selama 70 tahun.

Dengan meninggalnya Ratu Elizabeth II, maka Pangeran Charles akan menjadi penerus takhta Kerajaan Inggris sebagai Raja Charles III.

Britania Raya adalah monarki konstitusional, di mana raja berbagi kekuasaan dengan pemerintah yang terorganisir secara konstitusional.

Raja atau ratu yang memerintah adalah kepala negara.

Semua kekuatan politik berada di tangan perdana menteri (kepala pemerintahan) dan kabinet, dan raja harus bertindak atas saran mereka.

Baca juga: Prosesi Pemakaman Ratu Elizabeth II akan Berlangsung Selama 10 Hari

Berikut ini daftar raja dan ratu Inggris dari pertama hingga sekarang, dikutip dari Britannica:

Egbert: Dinasti Saxon (802-839 M)

Aethelwulf: Saxon (839-856/858 M)

Aethelbald: Saxon (855/856-860 M)

Aethelberht: Saxon (860-856/866 M)

Aethelred I: Saxon (865/866-871 M)

Alfred the Great: Saxon (871-899 M)

KOMPAS.com - Kerajaan-kerajaan di Nusantara mulai berubah menjadi kesultanan pada abad ke-13.

Perubahan menjadi kesultanan dan pemakaian gelar sultan oleh para penguasanya merupakan salah satu bukti awal mengenai islamisasi di Asia Tenggara.

Raja Islam di Indonesia yang pertama kali memakai gelar sultan adalah Meurah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh.

Sultan Malik as-Saleh adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, yang diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Baca juga: Apa Kerajaan Islam Pertama di Indonesia?

- Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz diketahui memiliki 13 anak dari tiga istrinya. Dari 13 anak itu, Raja Salman hanya memiliki satu putri yang bernama Putri Hussa. Sisanya merupakan para pangeran yang menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan Saudi.

Istri pertamanya bernama Sultana binti Turki Al Sudairi, yang merupakan saudara sepupunya sendiri. Dengan Sultana, Raja Salman memiliki enam anak -- lima laki-laki dan satu perempuan -- yakni Pangeran Fahd, Pangeran Ahmed, Pangeran Sultan, Pangeran Abdulaziz, Pangeran Faisal, dan Putri Hussa.

Pangeran Fahd dan Pangeran Ahmed telah meninggal dunia pada tahun 2001 dan 2002 lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pangeran Sultan bin Salman Foto: arabnews.com

Seperti dikutip dari situs

, Rabu (1/3/2017), Pangeran Sultan bin Salman yang lahir tahun 1956, kini menjabat sebagai Ketua Komisi Pariwisata dan Warisan Nasional Saudi (SCTH). Dia juga

dan pemimpin direksi King Salman Center for Disability Research (KSCDR).

Pangeran Sultan tercatat sebagai anggota keluarga Kerajaan Saudi pertama, juga warga Arab dan warga muslim pertama yang terbang ke luar angkasa. Dia terbang ke luar angkasa dengan

pada Juni 1985 lalu. Mantan pilot Angkatan Udara Saudi tersebut merupakan anggota keluarga kerajaan pertama yang menjadi astronot.

Pangeran Faisal bin Salman Foto: SPA/arabnews.com

Pangeran Abdulaziz bin Salman yang lahir tahun 1960, diketahui menjabat Wakil Menteri Urusan Perminyakan Saudi sejak tahun 1995. Kemudian Pangeran Faisal bin Salman yang lahir tahun 1970 kini menjabat Gubernur Provinsi Madinah. Pangeran Faisal memiliki gelar doktor Hubungan Internasional dari kampus bergengsi Oxford di Inggris.

Sementara Putri Hussa binti Salman yang lahir tahun 1974, diketahui banyak terlibat proyek-proyek amal di Saudi. Dia juga dikenal aktif memperjuangkan peningkatan peran kaum perempuan Saudi di berbagai bidang.

Istri kedua Raja Salman bernama Sarah binti Faisal Al-Subai'ai. Dari pernikahannya dengan istri keduanya, Raja Salman hanya memiliki satu putra bernama Pangeran Saud. Tidak banyak hal yang diketahui tentang Pangeran Saud bin Salman. Namun berbagai informasi menyebut Pangeran Saud bin Salman banyak berkiprah dalam berbagai aktivitas amal. Dia diketahui telah menikah dan memiliki satu anak laki-laki.

Pangeran Mohammed bin Salman Foto: SPA/arabnews.com

Dengan istri ketiganya yang bernama Fahda binti Falah bin Sultan Al Hithalayn, Raja Salman juga memiliki enam anak yang semuanya laki-laki. Keenam anaknya itu antara lain Pangeran Mohammed, Pangeran Turki, Pangeran Khalid, Pangeran Nayif, Pangeran Bandar, dan Pangeran Rakan.

Pangeran Mohammed bin Salman yang lahir tahun 1985 menjadi sosok yang cukup menonjol. Dia terpilih menjadi Wakil Putra Mahkota Saudi dan juga menjabat sebagai Wakil Kedua Perdana Menteri Saudi. Pangeran Mohammed juga mencetak sejarah sebagai Menteri Pertahanan termuda di dunia.

Pangeran Turki bin Salman (duduk) Foto: arabnews.com

Adiknya, Pangeran Turki bin Salman yang lahir tahun 1987, menjabat Pemimpin Dewan Direksi

selama setahun, sebelum mengundurkan diri tahun 2014 lalu. Dia juga dikenal sebagai pengusaha.

Pangeran Khalid bin Salman, menurut

, merupakan seorang pilot jet tempur F-15 yang ikut serta dalam koalisi melawan kelompok radikal

(ISIS) di Suriah pada September 2014 lalu. Sementara untuk ketiga putra bungsu Raja Salman, yakni Pangeran Nayif, Pangeran Bandar dan Pangeran Rakan, tidak banyak informasi yang bisa diketahui.

Pangeran Khalid bin Salman Foto: Getty Images/thetimes.co.uk

tirto.id - Al-Malik al-Nasir Yusuf Ibn Najm al-Din Ayyub Ibn Shahdi Abu’l-Muzaffar Salah al-Din, atau oleh Pasukan Salib dikenal dengan nama Saladin adalah pahlawan terbesar Muslim dalam sejarah Perang Salib (1095-1291). Banyak kronik menyebutkan dirinya adalah sosok bijaksana yang memiliki keberanian luar biasa. Di samping itu, dia juga dikenal sebagai pemimpin politik dan militer yang mumpuni.

Untuk perkara yang disebutkan terakhir, terdapat testimoni yang ditulis oleh Ibn Syaddad—salah seorang hakim militer Saladin yang banyak menulis tentang cerita kegemilangannya dalam Perang Salib—sebagaimana dikutip ulang oleh Carole Hillenbrand dalam Perang Salib: Sudut Pandang Islam (2005), hlm. 219:

“Sebagai seorang panglima dan mujahid agung tentu saja mendapat tempat yang membanggakan. Ia begitu dikenal oleh para prajurit biasa di pasukannya, menciptakan ikatan-ikatan kesetiaan dan solidaritas, dan memperbaiki moral hukum. Dia berjalan melintas di antara seluruh pasukan dari sayap kanan hingga kiri, dengan menciptakan rasa persatuan dan mendorong mereka untuk maju dan berdiri kokoh pada saat yang tepat.”

Dalam pertempuran di lembah Hattin pada 3-4 Juli 1187, Saladin menang telak atas penguasa Yerusalem, Raja Guy de Lusignan. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada 2 Oktober 1187, Saladin berhasil menaklukkan kota Yerusalem. Semenjak itu, namanya menjadi begitu terkenal sekaligus ditakuti oleh dunia Kristen Eropa.

Pada akhir Oktober 1187, ketika berita tentang kemenangan Saladin di Hattin dan jatuhnya kembali Yerusalem ke tangan tentara Muslim mulai terdengar di Eropa, orang-orang sangat terkejut.

Sebagaimana ditulis David Nicole dalam The Third Crussade 1191: Richard the Lionheart, Saladin and the struggle for Jerusalem (2006), Paus tua, Urban III terkejut dan lemah karena kabar jatuhnya Yerusalem ke tangan tentara Muslim. Ia meninggal karena kesedihan yang mendalam atas yang terjadi di Yerusalem.

Pada 29 Oktober 1187, penggantinya, Paus Gregorius VIII, mengeluarkan seruan terkenalnya yang disebut Bull Audita Tremendi sebagai tanggapan atas jatuhnya kembali Yerussalem di tangan tentara Muslim. Isi dari Bull Audita Tremendi adalah gambaran mengenai kengerian Pertempuran Hattin dan merinci kekejaman yang dilakukan tentara Muslim setelahnya.

Tak hanya itu, dalam seruannya tersebut Paus Gregorius VIII juga menyalahkan kaum Frank atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan di negara-negara tentara salib. Ia juga bersikeras bahwa orang Kristen yang tinggal di Eropa juga turut bertanggung jawab atas yang telah terjadi di Yerusalem.

Di seluruh Eropa, orang-orang sangat tersentuh akan maklumat Paus tersebut. Banyak yang tertarik untuk bergabung mengabdikan diri sebagai bagian dari Tentara Salib karena jaminan penebusan dosa yang ada dalam Bull Audita Tremendi.Dari situlah titik balik Perang Salib III atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Salib Para Raja.